Saturday, March 19, 2011

Cerpen : Arti Sebuah Penantian

Hujan  malam ini deras sekali. Titik-titik airnya seolah saling berkejaran menjadi yang pertama menyentuh kulit bumi. Bintang-bintang saja seolah takut hadir di langit yang gelap malam ini. Apalagi sang ratu malam itu dia sama sekali tak berani tampak. Mungkin takut dengan derasnya hujan yang tanpa pelangi itu. Aku terpaku di sisi jendela kayu ini. Masih di sini dan masih dengan satu penantian yang sama. Untuk dia yang pernah menitipkan janji kepercayaannya.
“Jendelanya tidak kau tutup, Nak? Hujannya deras sekali,” itu suara Ibu dari balik daun pintu yang terbuka sedikit.
Aku menggeleng dan sempatkan melempar senyum kecil ke arah sosok tua yang masih cantik itu. Dan sosok itupun kembali berlalu setelah melempar balasan senyumanku.
Angin memang tak terhitung sudah berapa kali menyuntikkan rasa dinginnya lewat kulit hingga tulangku. Aku hampir terasa menggigil, namun aku masih suka menatap hujan malam ini. Seperti aku. Ya, memang seperti aku. Setes air yang terhempas ke dasar bumi dan pecah menjadi bagian-bagian titik air yang lebih kecil, lalu menyebar. Seperti aku dengan sebuah penantian dan sebuah harapan yang sudah terpecah entah jadi apa.
Tetes bening ini, lagi-lagi tetes bening ini yang ikut menetes di derasnya hujan. Ini entah sudah musim penghujan yang keberapa. Aku masih di bawah jendela, dengan tatanan kamar yang sama sekali tak ada bedanya dengan dulu, saat dia titipkan sebuah janji itu. Aku masih di bawah jendela dengan sebongkah penantian dengan harapan yang sama, dia akan datang lagi dengan senyum yang sama. Semoga…

♥♥♥

“Naida,” aku menoleh, ke arah suara yang memanggilku.
“Hei, Vara,” aku menggeser dudukku sambil memberinya ruang untuk duduk di sampingku. Sekarang aku tak lagi tertunduk duduk sendiri di bangku kayu taman ini, seperti setengah jam lalu.
“Masih di sini? Masih menunggu sesuatu yang sama?”
Aku melempar bayangan tipis senyumku ke arahnya. Hampir tak tampak. Tanpa mengangguk mengiyakan Vara pasti sudah tahu jawaban yang mau ku sampaikan. Dia sangat mengenalku.
“Nai, ini sudah kali keberapa kamu duduk di sini? Masih betah menunggu? Tidak malu dengan daun akasia yang sudah beberapa kali bergati daun itu?” ia menoleh seolah menunjukan pohon tinggi di sampingnya. Dan Lagi-lagi aku hanya bisa singgungkan bayangan senyum tipisku.
“Hhh…” dia mengehela napasnya, terdengar desahan malas di sana, “aku tahu, kamu selalu mengharapkannya. Padahal kamu sendiri tak pernah tahu kan bagaimana bentuk cinta yang dia titipkan itu?”
“Aku memang belum tahu. Tapi aku tahu aku punya harapan untuk mengetahuinya,” sempat terselip ragu di balik tiap kata yang ku ucapkan dengan nada pasti pada Vara sore ini.
“Matahari saja sudah hampir lelah tersenyum di upuk barat, kamu belum lelah menunggunya? Sudah sangat sore, Nai.”
“Sebentar lagi, mungkin di detik selanjutnya. Tapi aku tak akan lelah. Aku punya janji Vara, bukan hanya sebuah titipan.”
Rasa tidak yakin lagi-lagi menggerogoti bagian dalam hati. Rasa takut dan ingin sembunyi masih betah terselip di dalam sisi tubuh. Otakku mulai menggigil terserang rasa dingin. Masih, masih dari satu sumber yang sama dengan kemarin. Bagaimana harus meminta rasa oleng dalam jiwa ini untuk angkat kaki dariku? Ke mana rasa yakin itu sembunyi? Kemarin aku masih bisa melihatnya.
Ah, lututku lemas lagi. Telinga masih mendengung banyak kalimat yang buat aku ragu. Otakku mendadak berputar. Mengapa beberapa kalimat Vara lagi-lagi seolah berhasil mengusir rasa yakinku untuk janji kepercayaan itu. Hm… Apa aku harus pura-pura tuli?

♥♥♥

Tiba juga, akhirnya matahari cantik yang baru nampak terbit di upuk timur sana seolah melihatku dengan tersenyum.  12 Januari 2009, jika aku tak salah menghitung mungkin ini sudah yang genap tahun ke enam setelah kejadian itu. Dia berpamitan denganku di sini, di rel kereta tua ini. Penjaga rel yang juga tak kalah tuanya, rambutnya hampir memutih semua namun kesetiannya masih tetap kokoh untuk menjaga beberapa nyawa yang bergantung padanya. Seolah tak tampak sedikitpun keluh lelah di lipatan wajahnya. Bapak tua itu, Pak Pramono selalu tersenyum tiap melihatku berdiri di sini.
“Tak terasa sudah enam tahun ya, Nai?” sosok tua itu berjalan sangat pelan dan hati-hati menghampiriku dan berdiri di sampingku. Menemaniku. Senyumnya mengembang manis dari bibir dan kerutan wajahnya yang renta.
Pikiranku kian melayang, aku tak mampu menjawabnya. Teralu sakit di dalam sini, bagian hati terdalam. Dimas, dia kekasihku enam tahun silam dan untukku masih sampai saat ini dia tetap kekasihku. Dia pergi, lambaian tangannya dan wajah tak relanya untuk meninggalkanku enam tahun lalu masih ku ingat dengan baik. Dan sebuah janji yang ia katakan sambil berbisik padaku, “tunggu aku di musim penghujan berikutnya. Aku akan kembali untuk menemuimu lagi nanti. Aku tahu kau pasti menungguku.”
Tapi entahlah, ini sudah musim penghujan keberapa, apa masih harus menunggu yang berikutnya lagi? Kadang aku jenuh, tapi teringat janji dan titipan kepercayaannya itu aku kembali menanti. Menanti, dan tak pernah tahu hingga musim penghujan yang mana.
“Apa kereta dari Jakarta belum tiba hari ini, Pak?”
Pak Pramono menggeleng sambil tersenyum, “beberapa menit lagi mungkin,” katanya dengan selipan senyum kagum yang masih mengembang, “masih menunggu?”
Aku mengangguk sambil kembali menatap kosong ke arah rel panjang ini. Dia akan datang? Itu selalu jadi pertanyaan yang mejelma menjadi doa dalam tiap detak jantung dan denyut nadiku.

♥♥♥

Belum datang juga yang aku tunggu. Matahari makin meninggi, sinarnya makin tajam merajam ke dasar kulit. Sudah hampir siang. Pak Pramono bilang akan ada keterlambatan kedatangan kereta hari ini. Entahlah apa sebabnya. Apa alam tak mendukungku? Tak menghargai bagaimana aku berusaha tetap dalam penantian? Tak berusaha melihat titik tulus yang selalu ku selipkan dalam mataku?
“Masih menunggu? Menanti hal yang sama?” sosok tak ku kenal itu bertanya tanpa matanya menatap mataku. Matanya menatap lurus ke arah rel itu, sama sepertiku beberapa menit lalu.
“Siapa Anda?”
“Aku juga Si penanti.”
Aku mengernyit heran, sungguh tak mengerti maksud pria di sebelahku. Tampaknya dia seumur denganku mungkin satu atau dua tahun di atasku. Matanya bulat dan tajam, seolah telah lama mengamati sesuatu. Pandangannya tenang dan lurus seolah memang seorang penanti yang sangat setia. Rambutnya hitam dan berkilau jika tak sengaja sinar matahari menyentuh helainya.
“Kau tahu, kadang setia justru menyakitkan?” matanya benar-benar tajam, menembus bagian yang tak ku tahu dalam perasaan tak mengerti dan ingin tahuku.
Ia mengangkat bibirnya sepersekian senti setelah tak dapat jawaban apa-apa dariku. Aku menggeleng masih tak mengerti apa-apa maksudnya. Bahkan kamipun belum sempat bertukar nama, hanya semapat bertukar pandang yang sama sekali tak menerangkan apapun.
“Terus saja menanti. Jangan takut, karena kau tak sendiri.” dia tersenyum langkahnya pelan dan meninggalkanku yang belum berhasil keluar dari labirin otakku sendiri. Siapa dia? Pertanyaan itu memaksa untuk terselip di sudut hati dan pikiranku.
Mataku meninggalkan bayangan yang makin menjauh itu. Sebuah kereta berhenti tepat di depanku berdiri sekarang.
Ini kah kereta dari Jakarta itu?

♥♥♥

Ayunan tua dari besi yang telah berkarat. Mungkin ia renta karena waktu. Air hujan dan panas terik matahari yang bergantian menyentuhnya membuatnya makin renta. Dulu aku sering di sini dengannya.
“Nai,” Vara menepuk lembut pundakku, “lalu bagaimana lanjutan percakapanmu dengan laki-laki misterius itu?” dia duduk di sampingku, di ayunan tua ini.
Aku mengangkat bahuku malas, “aku tak mengerti tentangnya, sungguh kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya membuatku bingung dan semakin terjebak dalam rasa penasaran yang panjang.”
“Sungguh?” matanya menyipit seolah mencari sesuatu dari dalam mataku.
Aku mengangguk dan Vara menanggapinya dengan tawa tanpa suara.
“Kamu tidak bertanya namanya?”
“Untuk apa?”
“Mm… sekedar tahu, ketimbang kamu penasaran,” tawanya makin melebar, dan keningku makin mengerut.
“Ah, aku tak peduli.”
“Mungkin yang benar itu, kamu belum peduli,” Vara berbisik pelan di telingaku, seolah tak rela jika rumput-rumput di sini ikut mendengarnya. Tapi lagi-lagi aku tak mengerti apa yang Vara katakan. Seperti masuk labirin otak yang baru. Padahal aku belum bisa menemukan pintu keluar dari labirin otak yang di buat laki-laki tak dikenal itu kemarin dan sekarang Vara justru membuatkan labirin otak yang baru untukku.
“Kemarin sampai sore, sampai keretanya kosong, aku tak juga menemukan sosok Dimas di sana,” aku menunduk dan menggerakakan ayunan lebih cepat mengikuti irama angin yang juga makin cepat.
“Hhh…” helaan napas malas Vara tertangkap telingaku, “lagi? Lagi-lagi kamu menunggu untuk satu penantian itu? Nai—”
“Vara, apa kamu tak mengerti?” aku cepat-cepat memotong kata-kata Vara.
“Aku mengerti, aku sangat mengerti. Tapi sebenarnya kamu yang tak mengerti.”
“Vara, aku tak mau kita berdepat tentang hal ini.”
“Aku tak pernah mengajakmu berdebat. Aku hanya mau mengingatkanmu sekali lagi. Tentang Dimasmu itu. Dimasmu yang meninggalkan desa sempit di Surabaya ini untuk satu kemegahan di kota Jakarta sana. Itu yang kamu bilang titipan kepercayaan? Kamu mana tahu dia di sana sedang apa? Apa dia juga memikirkanmu di tiap detak jantungnya seperti kamu yang selalu selipkan namanya di tiap denyut nadimu? Apa kamu tahu itu?”
Aku menggeleng lemas dan menundukan kepalaku ke bawah. Tampak rumput-rumput yang seolah tengah menari mengikuti alunan melodi lembut dari angin yang berhembus. Mereka menari, tapi hatiku sama sekali tak bisa bergerak. Kaku.
“Nai, mungkin ini sudah waktunya,” Vara mengeluarkan sebuah amplop merah dari sakunya.
“Waktu untuk apa?”
“Untuk kamu membacanya. Dulu aku sudah sempat ingin memberikannya, tapi Ibumu melarangku. Takut kamu hancur katanya. Entahlah, tapi ku pikir kamu justru akan semakin hancur jika lebih lama lagi tak mengetahuinya.”
Perlahan tanganku bergerak untuk melepas pita merah muda dari amplop merah marun itu. Tanganku agak bergetar, dan jantungku seolah tak mau berdetak mengikuti alunan lembut melodi angin lagi.
Napasku tertahan. Terasa berat saat memabaca kertas putih di dalamnya.

Menikah

Bunga Andrea Subagyo
dengan
Dimas Bagas Persada

Jakarta, 16 Juni 2008

Sudah, aku tak sanggup lagi melanjutkan membaca secarik kertas itu. Air mataku tumpah dan jantungku serasa berlari dari dalam rongga dadaku. Hatiku, entah, aku justru tak dapat lagi merasakannya dalam jiwa ini.
“Nai,” Vara menatapku, matanya mengisyaratkan kecemasan yang luar biasa, kadang terselip perasaan menyesal dalam nada suaranya. Aku masih belum bisa menjawab apapun. Aku makin dan semakin kaku.

♥♥♥

Daun-daun kering itu seolah mengikuti aku berlari. Titik air dari langit itu seolah tertawa melihatku basah air mata. Aku  masih menatap langit itu yang semakin gelap. Bintangpun tertidur di sana. Rembulan ikut sembunyi, seolah takut ku minta bantuan. Sekarang titik air langit itu merembas masuk ke dinding perasaan. Aku teriak, tapi semua seolah tertidur. Aku cuma bisa menutup mata. Tersenyum kecut dalam hati. Lalu bergumam, kalut.
Langkahku terhenti di rel kereta tua ini. Di sini enam musim penghujan ku habiskan. Malam ini pun hujan tak mau kalah deras dengan air mataku. Aku sudah basah, entah karena air mata atau tetes air malaikat itu. Lagit tertawa atau justru tengah ikut berduka. Hari ini sungguh pahit. Walaupun matahari telah berganti bulan, aku masih belum bisa melupakan kejamnya isi amplop merah marun berpita merah muda itu.

Tetap tunggu aku di sini. Tunggu hingga aku pun dapat menyentuh langit itu. Tetap tersenyum dari sini. Tunggu hingga aku bisa membalas senyum itu lagi. Jangan hilang bersama pelangi itu. aku ingin kau tetap sebagai langitku, bukan pelangi sehabis hujan, lalu pergi karna takut dengan waktu. Percaya padaku, kita pasti bisa kalahkan waktu” 
 
Kalimat itu terus berputar dalam otakku berkali-kali mendengung dalam telingaku. Aku berharap tuli sekarang! Enam tahun lalu, kalimat itu ia bisikkan padaku, ia yakinkan padaku, hingga aku menganggapnya sebagai sebuah titipan akan janji kepercayaan. Di sini, di rel tua ini, di bawah pelangi warna-warni selepas hujan pagi itu. Dia memintaku menjadi langitnya tapi dia juga yang mengubah dirinya menjadi pelangi untukku. Pelangi sesaat yang hanya tinggal terbingkai kenangan. Rel tua ini, dinding-dinding tua ini dan angin yang mungkin sempat hilir mudik di sini sejak enam tahun lalulah yang telah membingkai kisahku dengan kenangan. 

Aku letih dengan dunia. Penat mencekik semua uratku malam ini. Ingin berlari tapi mendadak lumpuh. Ingin teriakpun sekarang aku seolah bisu. Hanya bisa mendengar dengungan tajam yg menghujam hingga jantung, masih dengungan yang sama. Aku letih, otakku serasa bobrok ke kaki, dan detak nadi ini mulai mati rasa. Lagi?  Mungkin butuh duduk sejenak. Aku sudah sangat cukup menanti, menanti untuk senyumnya. namun  ternyata ia tak mengerti. Hingga kini aku letih sendiri. Menunggu ujung yang katanya indah itu, ternyata tak lebih dari sepotong mimpi besarku saja.
“Naida, kau tak kan temukan pelangi di malam hari walaupun kau tunggu hujan ini hingga berhenti,” paying putihnya mencegah tetes air malaikat itu menembus kepala hingga otakku lagi. Mataku menengadah ke atas, meyakinkan benar-benar ada yang menghalangi tetes air malaikat itu.
“Kau lagi?” aku menoleh ke sosok yang berdiri di sampingku. Mungkin mataku masih sembab, akan tampak berbeda dengan matanya yang bulat dan tajam itu. Suarakupun masih terdengar sangat bergetar, berbeda dengan suaranya yang terdengar lembut dan menenangkan, walau aku belum seutuhnya mengerti arti kalimatnya. Apa dia akan mengajakku ke labirin otak itu lagi?
Tak ada seulas senyumpun darinya untuk menjawab pertanyaanku, dia hanya diam sambil memayungiku. Entahlah, apa maksudnya. Kami sama-sama tenggelam dalam samudra diam masing-masing. Bebrapa dengungan kasar petirpun tak sanggup mengusik.
“Kau tahu namaku?”
Dia masih diam. Hhh… terlalu sepi untuk malam ini. Biarlah.

♥♥♥

Rumah bercat putih bersih, pilar-pilarnya nampak kokoh dengan warna senada. Aku terpaku di depan bangunan cantik nan megah ini aku tertunduk lemas. Kakiku terasa tergetar, dan seluruh tubuhku kaku, aku tak mampu melangkah kedalamnya. Vara ada di sampingku, dia yang mengajakku ke sini. Menantang maut? Ribuan kali hatiku bertanya pada jiwaku sendiri. Ini rumah kediaman Dimas. Vara yang mengatakannya padaku bahwa Dimas sedang berkunjung ke rumah orang tuanya di Surabaya sudah satu minggu ini.
“Ayolah Nai, mau sampai kapan diam? Kita temui penghianat perasaanmu itu. Kalau perlu leadakan saja semua kemarahanmu jangan hanya kamu pendam sendiri atau kamu akan meledak tanpa ampun suatu hari nanti.”
Sosok berkemeja putih keluar dari balik pintu yang belum sempat kami ketuk.
“Naida? Vara?” senyum laki-laki itu mengembang sempurna, tak ada yang berbeda sejak enam tahun silam aku terakhir melihatnya. Hanya statusnya yang suami orang mungkin yang berubah sekarang, “ayo, silahkan masuk dulu,” Dimas membukakan pintunya lebar-lebar seraya mempersilahkan kami berdua masuk.
“Tidak, terimakasih. Kami tak akan lama, hanya Naida ingin mengungkapkan rasa letihnya akan penantian yang ternyata sia-sia.”
Kening Dimas berkerut. Detak jantungku makin berada jauh di atas normal. Aku tak sanggup menatap matanya sekarang. Padahal mata itu selalu ku tunggu setiap musim penghujan datang.
“Oh iya, kalian tidak datang saat hari pernikahanku di Jakarta tahun lalu? Ada apa? Padahal aku sangat menunggu kehadiran kalian,” Dimas mengatakannya dengan sangat tenang seolah dia tak sedikitpun merasa bersalah telah membuang semua titipan yang dia titipkan sendiri. Janji kepercayaan itu. Ah, dia tak merasa ada seikat dosa yang membelitnya karena menghapus janjinya sendiri.
“Aku…” aku masih berusaha merangkai satu kalimat untuk menjawabnya, tapi seolah semua kata-kata tertahan di tenggorokanku. Ah, aku kehilangan kata-kata.
“Kalian sudah ku anggap sebagai adik sejak dulu, tetapi justru tak ada saat satu hari sakral untukku itu,” tawa Dimas masih mengembang dan melempar semua perasaan yang ku simpan enam tahun ini jauh-jauh. Akupun ikut terlempar.
Apa iya? Jadi… jadi selama ini hanya aku yang merasa? Aku telah salah mengartikannya?

♥♥♥

Sore inipun langit terasa sangat mendung padahal senja masih jauh. Di depan rel itu aku berdiri lagi. Sekarang tanpa sebuah penantian. Penantiannya sudah hancur.
“Berhenti sampai disini! Percuma bertumpu pada harapan kosong itu. Lihat di ujung sana ada cahaya matahari yang sesungguhnya tengah menatapmu. Masih mau menunggu dan memegang kebohongan yang kau bilang janji itu? Sungguh, dia tak lebih dari bangkai busuk, sampah!”
“Vara…” aku menggenggam tangan Vara untuk menenangkannya. Aku tak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan Vara. Aku sungguh merasa Dimas tak salah apa-apa hanya aku yang salah mengartikan titipan janjinya.
“Menolehlah ke sekitarmu Naida,” Vara melepas genggaman tanganku dan menunjukan jari telunjuknya lurus ke bangku tua di ujung rel sana.
“Dia…” hatiku seolah ikut menunjuk sosok itu dengan debaran yang belum aku mengerti. Lembut tapi cukup menyesakkan.
“Namanya Dewa. Masih mau membuatnya menunggumu? Kamu tahu Nai, menunggu kadang melelahkan jika akhirnya tak indah, bukan?”

♥♥♥

Sekarang bukan aku lagi yang menunggu di sisi rel kereta tua ini. Tapi seolah sudah tercipta janji yang sebenarnya belum pernah terucap dari lidah. Jika rona senja mulai tersenyum, saat itu matahari mulai letih dan bulan siap menggantikan tugasnya menghias langit, saat itulah ku anggap jeda waktu. Aku melangkah dengan debaran jantung yang sama, lembut tapi cukup menyesakkan. Rasa sesak yang cantik.
Di sana tampak sosok yang menungguku, matanya menatap lurus ke arahku yang makin mendekat ke arahnya. Matanya menembus bagian mata mendekat ke arah dalam jantungku. Tanpa suara tapi aku seolah tahu dia menyapaku dari jauh. Hm… matanya bilang begitu.
“Apa lagi? Masih mau mengajakku berputar di labirin otak buatanmu lagi?”
Sosok yang menggenggam lembut tanganku itu menggeleng, “bukan labirin otak buatanku, tapi labirin perasaan buatan kita yang aku sebut itu cinta, kau mau?” aku mengangguk pelan.
Mungkin Dimas hanya sekeping bagian dari kisahku, tanpa dia sepotong kisahku takkan sempurna, tanpa dia akupun takkan mengerti apa itu penantian. Menunggu, letih, kalut, yang sebenarnya adalah mencari tujuan dan membungkus harapan dengan kertas merah muda. Sungguh, aku tak menyesal pernah mengenalnya dan jadi penanti di tiap penghujan. Tapi Dewa, dialah arti penantian yang sebenarnya. Tulus dan tanpa batasan waktu. Saat langit menangis atau tertawapun kami akan tetap saling menanti dan menjaga langit kami bukan menunggu pelangi. Aku rasa aku sudah dapat tujuan dari penantian yang sebenarnya dan sebentar lagi harapan itu juga akan ku bungkus dengan kertas merah muda.

♥♥♥ tamat ♥♥♥

No comments:

Post a Comment

My Ping in TotalPing.com
My Zimbio
Top Stories