Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Thursday, April 14, 2011

Kisah Bocah Amerika Belajar Islam

Kisah spiritual anak kecil yang memeluk islam hanya karena dia baca mengenai buku Islam, setelah sebelumnya orang tuanya memberinya semua buku semua agama yang ada di dunia, Orang tua mutusin agar anaknya sendiri yang memilih agamanya.

Rasulullah saw bersabda: ”Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Kisah bocah Amerika ini tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadits tersebut di atas.

Alexander Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia tak pernah bertemu muslim seorangpun.

Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari sholat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.

Semua itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad ’Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah saw yang dia cintai sejak masih kecil.

Salah seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut. Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada wartawan itu, ”Apakah engkau seorang yang hafal Al Quran ?”

Wartawan itu berkata: ”Tidak”. Namun sang wartawan dapat merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.

Bocah itu kembali berkata , ”Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujani wartawan itu dengan banyak pertanyaan. ”Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji ? Apakah engkau telah menunaikan ’umrah ? Bagaimana engkau bisa mendapatkan pakaian ihram ? Apakah pakaian ihram tersebut mahal ? Apakah mungkin aku membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja ? Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan Islami ?”

Setelah wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali berbicara dan menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia sholat. Kemudian ia berkata dengan penuh penyesalan, ”Terkadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidaktahuanku tentang waktu-waktu sholat.”

Kemudian wartawan itu bertanya pada sang bocah, ”Apa yang membuatmu tertarik pada Islam ? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja ?” Dia diam sesaat kemudian menjawab.

Bocah itu diam sesaat dan kemudian menjawab, ”Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.

Wartawab bertanya kembali, ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan ?”

Muhammad tersenyum sambil menjawab, ”Ya, aku telah puasa Ramadhan yang lalu secara sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”. Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal tersebut”.

”Apakah cita-citamu ?” tanya wartawan

Dengan cepat Muhammad menjawab, ”Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.

”Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut ?” tanya wartawan lagi.

Ibu Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata : ”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain”.

Tampaklah senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.

Kemudian Muhammad meneruskan, ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar.”

Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya, ”Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini.”

”Apakah cita-citamu yang lain ?” tanya wartawan.

“Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka.” jawab Muhammad

Ibunya melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.

Muhammad berkata, ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina.”

”Apakah engkau mempunyai cita-cita lain ?” tanya wartawan lagi.

Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al Quran.”

“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam ?” tanya wartawan

Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”

”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan ? Bagaimana engkau menghindari daging babi ?”

Muhammad menjawab, ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi.”

”Apakah engkau sholat di sekolahan ?”

”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari” jawab Muhammad

Kemudian datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara. Bocah itu langsung berkata kepada wartawan,”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”

Kemudian dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan bocah itu menyuarakan adzan.

"ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Majalah Qiblati, edisi 07 tahun II – April 2007M/Rabi’ul-Awwal 1428 H"

Kisah Bocah Amerika Belajar Islam

Kisah spiritual anak kecil yang memeluk islam hanya karena dia baca mengenai buku Islam, setelah sebelumnya orang tuanya memberinya semua buku semua agama yang ada di dunia, Orang tua mutusin agar anaknya sendiri yang memilih agamanya.

Rasulullah saw bersabda: ”Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)

Kisah bocah Amerika ini tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadits tersebut di atas.

Alexander Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia tak pernah bertemu muslim seorangpun.

Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari sholat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.

Semua itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad ’Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah saw yang dia cintai sejak masih kecil.

Salah seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut. Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada wartawan itu, ”Apakah engkau seorang yang hafal Al Quran ?”

Wartawan itu berkata: ”Tidak”. Namun sang wartawan dapat merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.

Bocah itu kembali berkata , ”Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujani wartawan itu dengan banyak pertanyaan. ”Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji ? Apakah engkau telah menunaikan ’umrah ? Bagaimana engkau bisa mendapatkan pakaian ihram ? Apakah pakaian ihram tersebut mahal ? Apakah mungkin aku membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja ? Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan Islami ?”

Setelah wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali berbicara dan menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia sholat. Kemudian ia berkata dengan penuh penyesalan, ”Terkadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidaktahuanku tentang waktu-waktu sholat.”

Kemudian wartawan itu bertanya pada sang bocah, ”Apa yang membuatmu tertarik pada Islam ? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja ?” Dia diam sesaat kemudian menjawab.

Bocah itu diam sesaat dan kemudian menjawab, ”Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.

Wartawab bertanya kembali, ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan ?”

Muhammad tersenyum sambil menjawab, ”Ya, aku telah puasa Ramadhan yang lalu secara sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”. Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal tersebut”.

”Apakah cita-citamu ?” tanya wartawan

Dengan cepat Muhammad menjawab, ”Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.

”Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut ?” tanya wartawan lagi.

Ibu Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata : ”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain”.

Tampaklah senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.

Kemudian Muhammad meneruskan, ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar.”

Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya, ”Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini.”

”Apakah cita-citamu yang lain ?” tanya wartawan.

“Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka.” jawab Muhammad

Ibunya melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.

Muhammad berkata, ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina.”

”Apakah engkau mempunyai cita-cita lain ?” tanya wartawan lagi.

Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al Quran.”

“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam ?” tanya wartawan

Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”

”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan ? Bagaimana engkau menghindari daging babi ?”

Muhammad menjawab, ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi.”

”Apakah engkau sholat di sekolahan ?”

”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari” jawab Muhammad

Kemudian datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara. Bocah itu langsung berkata kepada wartawan,”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”

Kemudian dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan bocah itu menyuarakan adzan.

"ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Majalah Qiblati, edisi 07 tahun II – April 2007M/Rabi’ul-Awwal 1428 H"

Renungan Kehidupan

Hidup di dunia bagaikan mimpi. Seindah apapun, begitu bangun semuanya sirna tak berbekas.

Rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan jabatan yg luar biasa,

Namun... Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi. Sehelai benang pun tak bisa dimiliki...



* Tuhan tidak akan bertanya jenis mobil apa yang dikendarai Anda, tapi akan bertanya berapa banyak orang yang tidak memiliki kendaraan yang Anda bawa.

* Tuhan tidak akan bertanya seberapa lebar rumah Anda, tapi akan bertanya berapa banyak orang yang Anda sambut dirumah Anda.

* Tuhan tidak akan bertanya tentang baju bagus di lemari Anda, tapi akan bertanya berapa banyak pakaian yang Anda bagi untuk membantu mereka yang memerlukan pakaian.

* Tuhan tidak akan bertanya tentang status sosial, tapi akan menanyakan apakah kehidupan Anda menceritakan siapa Tuhan Anda.

* Tuhan tidak akan bertanya berapa banyak harta yang Anda miliki, akan tetapi Tuhan bertanya apakah harta itu mengendalikan hidup Anda.

* Tuhan tidak akan bertanya apa jabatan Anda dalam pekerjaan, tapi akan bertanya apakah anda mengerjakan pekerjaan Anda dengan kemampuan terbaik Anda.

* Tuhan tidak akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk membantu diri sendiri, tapi akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk membantu orang lain.

* Tuhan tidak akan menanyakan berapa banyak teman yang Anda miliki, tapi Dia akan bertanya Anda menjadi teman sejati bagi berapa banyak orang.

* Tuhan tidak akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk melindungi hak Anda, tapi akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk melindungi hak-hak orang lain.

* Tuhan tidak akan menanyakan di lingkungan seperti apa Anda tinggal, tapi Dia akan bertanya bagaimana Anda memperlakukan tetangga di lingkungan Anda tinggal.


* Jangan bangga dgn rumah mewah, karena rumah terakhir kita adalah KUBURAN

* Jangan bangga dgn wajah yg ganteng/cantik, karena wajah kita yg terakhir adalah TENGKORAK

* Jangan bangga dengan mobil mewah, karena mobil terakhir kita adalah AMBULANCE

* Jangan bangga dgn handphone mahal/canggih, karena alat komunikasi yg bisa menyelamatkan kita adalah DOA.


Dengan demikian,

Apalagi yang mau diperebutkan?
Apalagi yang mau disombongkan?

Jalanilah hidup ini dengan keinsafan nurani. Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini

Belajar menerima apa adanya dan berpikir positif. Jangan terlalu perhitungan Jangan hanya mau menang sendiri Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa bagi kita

Belajarlah tiada hari tanpa kasih. Selalu berlapang dada dan mengalah
Hidup ceria, bebas leluasa. Tak ada yang tak bisa di ikhlaskan
Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan. Tak ada dendam yang tak bisa terhapus

Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit itu selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar,


Tapi ketahuilah bahwa Dia selalu memberi:
Pelangi di setiap badai,
Senyum di setiap air mata,
Berkah di setiap cobaan,
Dan jawaban di setiap doa..


Jangan pernah menyerah sahabat,
Terus berjuanglah,
Life is so beautiful.
Hidup bukanlah suatu tujuan, melainkan perjalanan, nikmatilah...

Hiduplah dengan Taqwa & kualitas hidup yang lebih lagi, dimulai dari diri kita sendiri...

Renungan Kehidupan

Hidup di dunia bagaikan mimpi. Seindah apapun, begitu bangun semuanya sirna tak berbekas.

Rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan jabatan yg luar biasa,

Namun... Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi. Sehelai benang pun tak bisa dimiliki...



* Tuhan tidak akan bertanya jenis mobil apa yang dikendarai Anda, tapi akan bertanya berapa banyak orang yang tidak memiliki kendaraan yang Anda bawa.

* Tuhan tidak akan bertanya seberapa lebar rumah Anda, tapi akan bertanya berapa banyak orang yang Anda sambut dirumah Anda.

* Tuhan tidak akan bertanya tentang baju bagus di lemari Anda, tapi akan bertanya berapa banyak pakaian yang Anda bagi untuk membantu mereka yang memerlukan pakaian.

* Tuhan tidak akan bertanya tentang status sosial, tapi akan menanyakan apakah kehidupan Anda menceritakan siapa Tuhan Anda.

* Tuhan tidak akan bertanya berapa banyak harta yang Anda miliki, akan tetapi Tuhan bertanya apakah harta itu mengendalikan hidup Anda.

* Tuhan tidak akan bertanya apa jabatan Anda dalam pekerjaan, tapi akan bertanya apakah anda mengerjakan pekerjaan Anda dengan kemampuan terbaik Anda.

* Tuhan tidak akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk membantu diri sendiri, tapi akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk membantu orang lain.

* Tuhan tidak akan menanyakan berapa banyak teman yang Anda miliki, tapi Dia akan bertanya Anda menjadi teman sejati bagi berapa banyak orang.

* Tuhan tidak akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk melindungi hak Anda, tapi akan menanyakan apa yang anda lakukan untuk melindungi hak-hak orang lain.

* Tuhan tidak akan menanyakan di lingkungan seperti apa Anda tinggal, tapi Dia akan bertanya bagaimana Anda memperlakukan tetangga di lingkungan Anda tinggal.


* Jangan bangga dgn rumah mewah, karena rumah terakhir kita adalah KUBURAN

* Jangan bangga dgn wajah yg ganteng/cantik, karena wajah kita yg terakhir adalah TENGKORAK

* Jangan bangga dengan mobil mewah, karena mobil terakhir kita adalah AMBULANCE

* Jangan bangga dgn handphone mahal/canggih, karena alat komunikasi yg bisa menyelamatkan kita adalah DOA.


Dengan demikian,

Apalagi yang mau diperebutkan?
Apalagi yang mau disombongkan?

Jalanilah hidup ini dengan keinsafan nurani. Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini

Belajar menerima apa adanya dan berpikir positif. Jangan terlalu perhitungan Jangan hanya mau menang sendiri Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa bagi kita

Belajarlah tiada hari tanpa kasih. Selalu berlapang dada dan mengalah
Hidup ceria, bebas leluasa. Tak ada yang tak bisa di ikhlaskan
Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan. Tak ada dendam yang tak bisa terhapus

Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa langit itu selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar,


Tapi ketahuilah bahwa Dia selalu memberi:
Pelangi di setiap badai,
Senyum di setiap air mata,
Berkah di setiap cobaan,
Dan jawaban di setiap doa..


Jangan pernah menyerah sahabat,
Terus berjuanglah,
Life is so beautiful.
Hidup bukanlah suatu tujuan, melainkan perjalanan, nikmatilah...

Hiduplah dengan Taqwa & kualitas hidup yang lebih lagi, dimulai dari diri kita sendiri...

Wednesday, April 13, 2011

Surat Dari Seorang Ibu Yang Terkoyak Hatinya

Anakku….Ini adalah surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu.

Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami. Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu.Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu. Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat,

Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan. Anakku…Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ?

Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ? Anakku.. Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukumanpun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat.

Ibu tidak akan sampai hati melakukannya, Anakku… Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…Anakku…Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mata ibu nak, ringankanlah beban kesedihan ibu. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini.

Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”. Anakku…Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu.

----------------------------------------------------------------------------------------
“Wahai, Rabbku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka menyayangiku waktu aku masih kecil”.

Surat Dari Seorang Ibu Yang Terkoyak Hatinya

Anakku….Ini adalah surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu.

Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami. Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu.Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu. Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat,

Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan. Anakku…Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ?

Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ? Anakku.. Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukumanpun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat.

Ibu tidak akan sampai hati melakukannya, Anakku… Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…Anakku…Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mata ibu nak, ringankanlah beban kesedihan ibu. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini.

Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”. Anakku…Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu.

----------------------------------------------------------------------------------------
“Wahai, Rabbku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka menyayangiku waktu aku masih kecil”.

Sungguh Mulia Hatimu Ibu.

Dears, sebelum melanjutkan, kisah dibawah ini adalah sebuah kisah fiksi yang tertuang didalam imajinasi, tidak ada kejadian fakta didalamnya. Hanya terinspirasi dari kisah Ibu dan Bunda yang di ikutkan dalam festival blog : Minum Teh Bersama Ibu dari guskar dot com

Dirumah nenek (begitulah anakku biasa memanggil Ibu), aku lihat Ibu tengah ngobrol dengan adik perempuanku satu-satunya yang sudah kian beranjak dewasa. Dari mimik mulut mereka, aku tau pasti mereka sedang membicarakan Ayah yang memang jarang pulang akhir-akhir ini. Menurut pengakuannya sih kerja, ya maklumlah Ayahku adalah seorang pengusaha Pub dan Resto yang cukup sangat sibuk.

Dan Resto Ayah kebanyakan ada di luar kota. Jadi dalam sebulan, paling banter Ayah pulang hanya tiga sampai empat kali saja. Itupun hanya setengah hari bisa duduk nyantai di rumah bersama kami sedangkan malamnya Ayah harus pergi lagi ngurusin Pub dan Karaoke.

Ayah selalu menenteng tas laptopnya setiap kali pulang dan turun dari Aerio-nya. Masih mengenakan kemeja lengan panjang dipadu dengan celana kain warna hitam dan sepatu coklat yang mengkilat. Begitulah gambaran setiap kali Ayah pulang.

Dengan mata masih setengah nyawa, aku keluar dari kamar, setelah seharian tertidur pulas, kecapekan nyetir dari rumah kami di luar kota sampai ke rumah Ibu tanpa ada yang menggantikan. Aku biarkan istri dan anakku melanjutkan tidur siangnya. Di sela-sela lemari hias, dari balik tirai kelambu, aku lihat Ibu sedang duduk di lantai keramik, memilah-milah baju Ayah yang baru saja ia angkat dari tali jemuran. Disampingnya berbaring manja adik cantikku satu-satunya.

"Gak terasa, sudah 18 tahun usiamu, Adikku..." gumamku dalam hati.
"Ibu..." dia Ratih namanya, "Ibu kenapa sih gak pernah protes ngeliat Ayah jarang pulang gitu?"
"Ayah kamu lagi kerja Sayang..." sahut Ibu tenang.

"Bohong..! Ratih ni udah besar Bu... uda tau sama hal-hal kayak gituan.."
"Hal-hal kayak gituan gimana maksud kamu?"

"Banyak temen Ratih yang ngeliat Ayah sering jalan sama gadis-gadis cantik seumuran Ratih Bu..."
"Huss..! Jangan asal bicara ya kamu, kalo Ayah denger bisa marah lho.."
"halaaaah... udalah Bu.. Ibu gak usah nutup-nutupin lagi.. Ratih udah tau semuanya." sanggah Ratih sambil mencibir.

Ku lihat Ibu lalu meletakkan baju yang tengah dipegangnya di atas alas setrikaan dan kemudian menggenggam kedua tangan Ratih erat. Dengan senyum penuh kasih dipandangnya sepasang mata itu dalam-dalam,

"Anakku... ingatlah selalu apa yang hendak Ibu katakan ini. Dan ingat itu ketika kelak kamu sudah berumah-tangga dan suami kamu sudah setua Ayah. Laki-laki seusia Ayah itu, tengah mengalami masa remajanya yang kedua. Dia mulai sedikit kekurangan kepercayaan akan dirinya.

Karena itu dia merasa membutuhkan gadis-gadis cantik dan muda di sekelilingnya yang akan selalu memberinya kata-kata pujian dan sanjungan. Yang dianggapnya itu sebagai bukti bahwa dia masih menarik, bahwa dia masih belum tua, bahwa para wanita masih mengejar-ngejar dia."

Ibu mengguncang-guncang tangan Ratih pelan dan mengusap anak rambut yang menempel di dahinya.

"Masa itu tidak akan berlangsung lama, Sayang... Bila sudah berlalu, Ayah akan kembali lagi pada kita, pada Ibu... Dan selama menanti, tidaklah berguna bagi Ibu untuk bermuka asam atau menyambutnya dengan palang pintu, sebab itu hanya akan membuatnya lari dari rumah yang dianggapnya sudah jadi seperti neraka.

Lebih baik kalo dia dimanjakan dan diberi kesan bahwa dia dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Ingat Ratih... tidak ada seorangpun yang tidak tergerak hatinya ketika mendapat perhatian lebih dari orang lain. Percayalah itu. Camkan baik-baik apa yang Ibu bilang.

Bila suamimu kelak sudah berumur mendekati lima puluh tahun, dan bila dia mulai tertarik lagi pada gadis-gadis cantik, janganlah kamu musuhi dia. Tapi tetaplah berhias yang cantik, sediakan minuman dan makanan yang masih hangat dan bereskan selalu tempat tidurnya. Siapkan baju-baju yang akan dipakainya seperti biasa.

Tutup mata kamu dan tersenyumlah. Tunggu sampai masa itu usai dan setelah semua berlalu, kamu akan merasakan sebuah kenikmatan hidup yang luar biasa. Yaitu ketika suami kamu akhirnya benar-benar kembali. Karena sesungguhnya, Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih pada hamba-Nya yang senantiasa sabar dan tawakal."

"Ibu...." spontan Ratih langsung bangun dan memeluk Ibu erat sambil menangis.

Begitu mulianya hatimu Ibu..
Dengan begitu bijaknya, Ibu menjawab pertanyaan Ratih, membela Ayah yang sudah jelas-jelas bersalah, mengkhianati kepercayaan yang Ibu berikan. Jujur aku kagum pada kemuliaan hatimu Bu... dan semua apa yang Ibu katakan itu benar-benar membuatku tergugah. Aku janji, aku akan berusaha untuk sebisa mungkin mengindari hal itu.

Tuhan... betulkah semua apa yang Ibu katakan itu..? Akankah aku nanti juga seperti itu? Jangan ya Tuhan... jangan Engkau buat hamba menjauh dari istri dan anak-anak hamba. Hamba sayang banget dengan mereka.

Sungguh Mulia Hatimu Ibu.

Dears, sebelum melanjutkan, kisah dibawah ini adalah sebuah kisah fiksi yang tertuang didalam imajinasi, tidak ada kejadian fakta didalamnya. Hanya terinspirasi dari kisah Ibu dan Bunda yang di ikutkan dalam festival blog : Minum Teh Bersama Ibu dari guskar dot com

Dirumah nenek (begitulah anakku biasa memanggil Ibu), aku lihat Ibu tengah ngobrol dengan adik perempuanku satu-satunya yang sudah kian beranjak dewasa. Dari mimik mulut mereka, aku tau pasti mereka sedang membicarakan Ayah yang memang jarang pulang akhir-akhir ini. Menurut pengakuannya sih kerja, ya maklumlah Ayahku adalah seorang pengusaha Pub dan Resto yang cukup sangat sibuk.

Dan Resto Ayah kebanyakan ada di luar kota. Jadi dalam sebulan, paling banter Ayah pulang hanya tiga sampai empat kali saja. Itupun hanya setengah hari bisa duduk nyantai di rumah bersama kami sedangkan malamnya Ayah harus pergi lagi ngurusin Pub dan Karaoke.

Ayah selalu menenteng tas laptopnya setiap kali pulang dan turun dari Aerio-nya. Masih mengenakan kemeja lengan panjang dipadu dengan celana kain warna hitam dan sepatu coklat yang mengkilat. Begitulah gambaran setiap kali Ayah pulang.

Dengan mata masih setengah nyawa, aku keluar dari kamar, setelah seharian tertidur pulas, kecapekan nyetir dari rumah kami di luar kota sampai ke rumah Ibu tanpa ada yang menggantikan. Aku biarkan istri dan anakku melanjutkan tidur siangnya. Di sela-sela lemari hias, dari balik tirai kelambu, aku lihat Ibu sedang duduk di lantai keramik, memilah-milah baju Ayah yang baru saja ia angkat dari tali jemuran. Disampingnya berbaring manja adik cantikku satu-satunya.

"Gak terasa, sudah 18 tahun usiamu, Adikku..." gumamku dalam hati.
"Ibu..." dia Ratih namanya, "Ibu kenapa sih gak pernah protes ngeliat Ayah jarang pulang gitu?"
"Ayah kamu lagi kerja Sayang..." sahut Ibu tenang.

"Bohong..! Ratih ni udah besar Bu... uda tau sama hal-hal kayak gituan.."
"Hal-hal kayak gituan gimana maksud kamu?"

"Banyak temen Ratih yang ngeliat Ayah sering jalan sama gadis-gadis cantik seumuran Ratih Bu..."
"Huss..! Jangan asal bicara ya kamu, kalo Ayah denger bisa marah lho.."
"halaaaah... udalah Bu.. Ibu gak usah nutup-nutupin lagi.. Ratih udah tau semuanya." sanggah Ratih sambil mencibir.

Ku lihat Ibu lalu meletakkan baju yang tengah dipegangnya di atas alas setrikaan dan kemudian menggenggam kedua tangan Ratih erat. Dengan senyum penuh kasih dipandangnya sepasang mata itu dalam-dalam,

"Anakku... ingatlah selalu apa yang hendak Ibu katakan ini. Dan ingat itu ketika kelak kamu sudah berumah-tangga dan suami kamu sudah setua Ayah. Laki-laki seusia Ayah itu, tengah mengalami masa remajanya yang kedua. Dia mulai sedikit kekurangan kepercayaan akan dirinya.

Karena itu dia merasa membutuhkan gadis-gadis cantik dan muda di sekelilingnya yang akan selalu memberinya kata-kata pujian dan sanjungan. Yang dianggapnya itu sebagai bukti bahwa dia masih menarik, bahwa dia masih belum tua, bahwa para wanita masih mengejar-ngejar dia."

Ibu mengguncang-guncang tangan Ratih pelan dan mengusap anak rambut yang menempel di dahinya.

"Masa itu tidak akan berlangsung lama, Sayang... Bila sudah berlalu, Ayah akan kembali lagi pada kita, pada Ibu... Dan selama menanti, tidaklah berguna bagi Ibu untuk bermuka asam atau menyambutnya dengan palang pintu, sebab itu hanya akan membuatnya lari dari rumah yang dianggapnya sudah jadi seperti neraka.

Lebih baik kalo dia dimanjakan dan diberi kesan bahwa dia dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Ingat Ratih... tidak ada seorangpun yang tidak tergerak hatinya ketika mendapat perhatian lebih dari orang lain. Percayalah itu. Camkan baik-baik apa yang Ibu bilang.

Bila suamimu kelak sudah berumur mendekati lima puluh tahun, dan bila dia mulai tertarik lagi pada gadis-gadis cantik, janganlah kamu musuhi dia. Tapi tetaplah berhias yang cantik, sediakan minuman dan makanan yang masih hangat dan bereskan selalu tempat tidurnya. Siapkan baju-baju yang akan dipakainya seperti biasa.

Tutup mata kamu dan tersenyumlah. Tunggu sampai masa itu usai dan setelah semua berlalu, kamu akan merasakan sebuah kenikmatan hidup yang luar biasa. Yaitu ketika suami kamu akhirnya benar-benar kembali. Karena sesungguhnya, Tuhan akan memberikan sesuatu yang lebih pada hamba-Nya yang senantiasa sabar dan tawakal."

"Ibu...." spontan Ratih langsung bangun dan memeluk Ibu erat sambil menangis.

Begitu mulianya hatimu Ibu..
Dengan begitu bijaknya, Ibu menjawab pertanyaan Ratih, membela Ayah yang sudah jelas-jelas bersalah, mengkhianati kepercayaan yang Ibu berikan. Jujur aku kagum pada kemuliaan hatimu Bu... dan semua apa yang Ibu katakan itu benar-benar membuatku tergugah. Aku janji, aku akan berusaha untuk sebisa mungkin mengindari hal itu.

Tuhan... betulkah semua apa yang Ibu katakan itu..? Akankah aku nanti juga seperti itu? Jangan ya Tuhan... jangan Engkau buat hamba menjauh dari istri dan anak-anak hamba. Hamba sayang banget dengan mereka.

Tuesday, April 12, 2011

Cerpen : Jangan Benci Aku, MAMAH...!

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJwlasHZ6eiLuhrPZ0a3YeDWZ8kMRiaP8vc9RTywiZdmrrpiLkYvHmsUaLxbsO9SIQYHaSBBM0wJoZYfxT4QQp-kmKtmrr8v0rb7Mw9H9fMyuON-rGyKraAX-kJpKKXOkKgkSJEl-Bd386/s400/13662_1272249373421_1445515687_30780349_2151316_a.jpgDua puluh tahun yang lalu aku melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Hasan, suamiku, memberinya nama Erik. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Aku berniat memberikannya kepada orang lain saja atau dititipkan di panti asuhan agar tidak membuat malu keluarga kelak.

Namun suamiku mencegah niat buruk itu. Akhirnya dengan terpaksa kubesarkan juga. Di tahun kedua setelah Erik dilahirkan, akupun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Kuberi nama Angel. Aku sangat menyayangi Angel, demikian juga suamiku. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan & membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Erik. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Suamiku sebenarnya sudah berkali-kali berniat membelikannya, namun aku selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Suamiku selalu menuruti perkataanku.

Saat usia Angel 2 tahun, Suamiku meninggal dunia. Erik sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya aku mengambil sebuah tindakan yang akan membuatku menyesal seumur hidup. Aku pergi meninggalkan kampung kelahiranku bersama Angel. Erik yang sedang tertidur lelap kutinggalkan begitu saja.

Kemudian aku memilih tinggal di sebuah rumah kecil setelah tanah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.......... telah berlalu sejak kejadian itu.

Kini Aku telah menikah kembali dengan Beni, seorang pria dewasa yang mapan. Usia pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Beni, sifat-sifat burukku yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angel kini telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkannya di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Erik dan tidak ada lagi yang mengingatnya. Sampai suatu malam. Malam di mana aku bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arahku. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama caya? caya lindu cekali cama Mama!"

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun aku menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"
"Nama caya Elik, Tante."
"Erik? Erik... Ya Tuhan! Kau benar-benar Erik?"

Aku langsung tersentak bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpaku saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu, seperti sebuah film yang sedang diputar di kepala. Baru sekarang aku menyadari betapa jahatnya perbuatanku dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu.

Ya, sepertinya saya memang harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Erik melintas kembali di pikiranku. Ya Erik, Mama akan menjemputmu Erik...sabar ya nak...."

Sore itu aku memarkir mobil biruku di samping sebuah gubuk, dan Beni suamiku dengan pandangan heran menatapku dari samping. "Maryam, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Oh, suamiku, kau pasti akan membenciku setelah kuceritakan hal yang telah kulakukan dulu." tetapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak.

Ternyata Tuhan sungguh baik kepadaku. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangisku reda, aku pun keluar dari mobil diikuti oleh suami dari belakang. Mataku menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter didepan. Aku mulai teringat betapa gubuk itu pernah kutempati beberapa tahun lamanya dan Erik..... Erik......

Aku meninggalkan Erik di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih aku pun berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mataku mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.

Namun aku tidak menemukan siapa pun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Aku mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mataku mulai berkaca-kaca, aku mengenali betul potongan kain tersebut, itu bekas baju butut yang dulu dikenakan Erik sehari-hari, baju butut yang kadang aku sendiri jijik mencucinya......

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, aku pun keluar dari ruangan itu... Air mataku mengalir dengan deras. Saat itu aku hanya diam saja. Sesaat kemudian aku dan suami mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba - tiba aku melihat seseorang di belakang mobil kami. Aku sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.

Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali aku tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau ke sini?!"

Dengan memberanikan diri, aku pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Erik yang dulu tinggal di sini?"

Tiba - tiba Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Erik terus menunggu ibunya seraya memanggil, 'Mamaaa..., Mamaaa!'

Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan & mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Erik meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu....."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mama, mengapa Mama tidak pernah kembali lagi...? Mama benci ya sama Erik? Ma...., biarlah Erik yang pergi saja, tapi Mama harus berjanji ya, kalau Mama tidak akan benci lagi sama Eric. Udah dulu ya Ma, Erik sayaaaang sama Mama, ......"

Aku menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Aku berjanji akan meyayanginya sekarang! Aku tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!" Suamiku memeluk tubuhku yang bergetar sangat keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Erik telah meninggalkan dunia. Ia meninggal persis di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mama-nya datang, Mama-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ...

Ia hanya berharap dapat melihat Mamanya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya disana. Nyonya, dosa Anda sungguh tidak terampuni!"

Aku kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Cerpen : Jangan Benci Aku, MAMAH...!

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJwlasHZ6eiLuhrPZ0a3YeDWZ8kMRiaP8vc9RTywiZdmrrpiLkYvHmsUaLxbsO9SIQYHaSBBM0wJoZYfxT4QQp-kmKtmrr8v0rb7Mw9H9fMyuON-rGyKraAX-kJpKKXOkKgkSJEl-Bd386/s400/13662_1272249373421_1445515687_30780349_2151316_a.jpgDua puluh tahun yang lalu aku melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Hasan, suamiku, memberinya nama Erik. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Aku berniat memberikannya kepada orang lain saja atau dititipkan di panti asuhan agar tidak membuat malu keluarga kelak.

Namun suamiku mencegah niat buruk itu. Akhirnya dengan terpaksa kubesarkan juga. Di tahun kedua setelah Erik dilahirkan, akupun melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Kuberi nama Angel. Aku sangat menyayangi Angel, demikian juga suamiku. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan & membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah.

Namun tidak demikian halnya dengan Erik. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Suamiku sebenarnya sudah berkali-kali berniat membelikannya, namun aku selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Suamiku selalu menuruti perkataanku.

Saat usia Angel 2 tahun, Suamiku meninggal dunia. Erik sudah berumur 4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya aku mengambil sebuah tindakan yang akan membuatku menyesal seumur hidup. Aku pergi meninggalkan kampung kelahiranku bersama Angel. Erik yang sedang tertidur lelap kutinggalkan begitu saja.

Kemudian aku memilih tinggal di sebuah rumah kecil setelah tanah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.......... telah berlalu sejak kejadian itu.

Kini Aku telah menikah kembali dengan Beni, seorang pria dewasa yang mapan. Usia pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Beni, sifat-sifat burukku yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang.

Angel kini telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkannya di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Erik dan tidak ada lagi yang mengingatnya. Sampai suatu malam. Malam di mana aku bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arahku. Sambil tersenyum ia berkata, "Tante, Tante kenal mama caya? caya lindu cekali cama Mama!"

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun aku menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"
"Nama caya Elik, Tante."
"Erik? Erik... Ya Tuhan! Kau benar-benar Erik?"

Aku langsung tersentak bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpaku saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu, seperti sebuah film yang sedang diputar di kepala. Baru sekarang aku menyadari betapa jahatnya perbuatanku dulu. Rasanya seperti mau mati saja saat itu.

Ya, sepertinya saya memang harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Erik melintas kembali di pikiranku. Ya Erik, Mama akan menjemputmu Erik...sabar ya nak...."

Sore itu aku memarkir mobil biruku di samping sebuah gubuk, dan Beni suamiku dengan pandangan heran menatapku dari samping. "Maryam, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Oh, suamiku, kau pasti akan membenciku setelah kuceritakan hal yang telah kulakukan dulu." tetapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak.

Ternyata Tuhan sungguh baik kepadaku. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangisku reda, aku pun keluar dari mobil diikuti oleh suami dari belakang. Mataku menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter didepan. Aku mulai teringat betapa gubuk itu pernah kutempati beberapa tahun lamanya dan Erik..... Erik......

Aku meninggalkan Erik di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih aku pun berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mataku mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.

Namun aku tidak menemukan siapa pun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Aku mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mataku mulai berkaca-kaca, aku mengenali betul potongan kain tersebut, itu bekas baju butut yang dulu dikenakan Erik sehari-hari, baju butut yang kadang aku sendiri jijik mencucinya......

Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, aku pun keluar dari ruangan itu... Air mataku mengalir dengan deras. Saat itu aku hanya diam saja. Sesaat kemudian aku dan suami mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba - tiba aku melihat seseorang di belakang mobil kami. Aku sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor.

Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali aku tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau ke sini?!"

Dengan memberanikan diri, aku pun bertanya, "Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Erik yang dulu tinggal di sini?"

Tiba - tiba Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Erik terus menunggu ibunya seraya memanggil, 'Mamaaa..., Mamaaa!'

Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan & mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Erik meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu....."

Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mama, mengapa Mama tidak pernah kembali lagi...? Mama benci ya sama Erik? Ma...., biarlah Erik yang pergi saja, tapi Mama harus berjanji ya, kalau Mama tidak akan benci lagi sama Eric. Udah dulu ya Ma, Erik sayaaaang sama Mama, ......"

Aku menjerit histeris membaca surat itu. "Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Aku berjanji akan meyayanginya sekarang! Aku tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!" Suamiku memeluk tubuhku yang bergetar sangat keras.

"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Erik telah meninggalkan dunia. Ia meninggal persis di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut apabila Mama-nya datang, Mama-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ...

Ia hanya berharap dapat melihat Mamanya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya disana. Nyonya, dosa Anda sungguh tidak terampuni!"

Aku kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.
My Ping in TotalPing.com
My Zimbio
Top Stories